Desain Arsitektur Meru

Arsitektur Meru merupakan salah satu arsitektur bangunan suci umat Hindu di Bali kuno yang masih bertahan sampai saat ini, yang sangat agung, megah dan monumental dan sarat dengan kandungan makna simbolis dan kekuatan religius. Meru dijumpai pada pura-pura besar di Bali dengan ciri khasnya adalah atapnya yang bertumpang tinggi.
Meru tidak hanya dijumpai di pura-pura di Bali, tapi juga pada upacara-upacara ngaben (kremasi) di Bali sebagai wadah sawa atau watang (mayat) pada upacara pitra yadnya yang lebih dikenal dengan nama bade. Apa sesungguhnya makna dan fungsi, serta bagaimana tata letak, bentuk, sampai ornamen meru?

MERU dibangun berdasarkan pada keakuratan proporsi, logika teknik konstruksi dan keindahan ragam hias, yang berpegang teguh kepada kearifan lokal arsitektur tradisional Bali seperti Hasta Kosala Kosali, Hasta Bumi, Lontar Andha Buana, Lontar Jananthaka, dll. Konstruksi meru merupakan konstruksi tahan gempa yang telah teruji keandalannya. Gempa yang sangat dahsyat dengan kekuatan yang sangat besar yang pernah terjadi di Bali (seperti di Seririt, Buleleng), dimana bangunan konstruksi modern banyak yang roboh, namun bangunan-bangunan suci di Bali -- khususnya meru -- masih berdiri dengan kokoh, kuat, stabil, dan tegak.
Makna dan Fungsi Meru ( Asal usul meru )
Meru, didasarkan kepada kutipan yang tercantum pada lontar-lontar warisan leluhur seperti Lontar Andha Bhunana, mengandung makna simbolis atau filsafat sbb.;
Matang nyan meru mateges, me, ngaran meme, ngaran ibu, ngaran pradana tattwa; muah ru, ngaran guru, ngaran bapa, ngaran purusa tattwa, panunggalannya meru ngaran batur kalawasan petak. Meru ngaran pratiwimbha andha bhuana tumpangnya pawakan patalaning bhuana agung alit.
Artinya, "Oleh karena itu meru berasal dari kata me, berarti meme = ibu = pradana tattwa, sedangkan ru berarti guru = bapak = purusa tattwa, sehingga meru berarti batur kelawasan petak (cikal bakal leluhur). Meru berarti lambang atau simbol alam semesta, tingkatan atapnya merupakan simbol tingkatan lapisan alam yaitu bhuana agung dan bhuana alit".
Jadi, berdasarkan keterangan dalam Lontar Andha Bhuana tersebut, meru memiliki dua makna simbolis yaitu meru sebagai simbolisasi dari cikal bakal leluhur dan simbolisasi atau perlambang dari alam semesta. Lebih lanjut diuraikan, meru punya dua makna sbb.;
1. Meru sebagai perlambang atau perwujudan dari Gunung Mahameru
Gunung adalah perlambang alam semesta sebagai stana para Dewata, Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) atau Papulaning Sarwa Dewata. Meru mempunyai makna simbolis dari gunung juga diuraikan dalam Lontar Tantu Pagelaran, Kekimpoi Dharma Sunia dan Usana Bali.
Dalam hal ini, meru sebagai Dewa Pratista -- berfungsi sebagai tempat pemujaan atau pelinggih para Dewa. Meru sebagai Dewa Pratista terdapat dalam kompleks pura seperti Pura Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat dan Kahyangan Tiga.
2. Meru melambangkan "Ibu" dan "Bapak" sebagaimana diuraikan dalam Lontar Andha Bhuana.
Ibu mengandung pengertian Ibu Pertiwi yaitu unsur pradhana tattwa dan Bapak mengandung makna "Aji Akasa" yaitu unsur purusa tattwa. Manunggalnya pradhana dan purusa itulah merupakan kekuatan yang maha besar yang menjadi sumber segala yang ada di bumi. Inilah yang merupakan landasan bahwa meru berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur di kompleks pura-pura Pedarman Besakih. Di sini, meru sebagai Atma Pratista yaitu berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur atau sebagai stana Dewa Pitara.
Berdasarkan uraian itu, kesimpulannya, meru bermakna sebagai perlambang Gunung Mahameru, perlambang Tuhan Yang Maha Esa (alam semesta) dan "Ibu Bapak" (purusa pradhana), berfungsi sebagai tempat pemujaan atau stana para dewa-dewi, betara batari, dan roh suci leluhur. Hal ini lebih tegas juga diuraikan dalam Lontar Purana Dewa, Kesuma Dewa, Widhi Sastra, Wariga Catur Winasa Sari dan Jaya Purana.
Filosofi Atap
Keindahan dan keagungan meru ditonjolkan oleh bentuk atapnya yang bertingkat-tingkat yang disebut atap tumpang. Ini dapat dibedakan atas meru tumpang satu, dua, tiga, lima, tujuh, sembilan, dan sebelas.
Meru sebagai perlambang atau simbolis alam semesta, tingkatan atapnya merupakan simbolis tingkatan lapisan alam yaitu bhuana agung (alam besar atau makrokosmos) dan bhuana alit (alam kecil atau mikrokosmos) dari bawah ke atas sebanyak sebelas tingkatan.

Tingkatan tersebut yaitu 1 = Sekala, 2 = Niskala, 3 = Cunya, 4 = Taya, 5 = Nirbana, 6 = Moksa, 7 = Suksmataya, 8 = Turnyanta, 9 = Ghoryanta, 10 = Acintyataya, dan 11 = Cayen.

Ada juga meru beratap 21, namun biasanya ini dapat dilihat pada wadah atau bade pada saat ada upacara ngaben di Bali. Meru "khusus" ini memiliki pengertian Dasa Dewata sebagai dasar pokok, kemudian ditambah 11 tangga atma sebagai kelanjutannya.

Foto bade ini akan dijelaskan lebih lengkap oleh bli wiatnata

Tingkatan-tingkatan atap meru adalah simbolisasi penyatuan dasa aksara (huruf suci) sebagai urip (jiwa) dari meru atau alam semesta. Sepuluh huruf suci ini merupakan urip bhuana yang letaknya di 10 penjuru alam semesta termasuk di tengah.
Ke-10 huruf itu adalah huruf suci sa (letaknya di timur, dewanya Iswara dan warnanya putih), ba (selatan, Brahma, merah), ta (barat, Mahadewa, kuning) a (utara, Wisnu, hitam), i (tengah, Ciwa, campuran atau panca warna), na (tenggara, Mahesora, merah muda atau dadu), ma (barat daya, Rudra, jingga), si (barat laut, Sangkara, hijau), wa (timur laut, Sambu, biru) dan ya (tengah atas, Ciwa, panca warna).

Penunggalan 10 huruf itu menjadi satu lambang aksara suci bagi umat Hindu yaitu Omkara (huruf suci Sanghyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa). Sedangkan pengejawatahan ke-10 huruf suci dan huruf suci Omkara dalam meru diuraikan sbb.:

* Meru beratap 11 adalah lambang dari 11 huruf suci -- 10 huruf suci + huruf suci Omkara sebagai lambang Eka Dasa Dewata.

* Meru beratap 9 adalah lambang 8 huruf di seluruh penjuru (sa, ba, ta, a, na, ma, si, wa) + satu huruf Omkara di tengah, 9 huruf itu lambang Dewata Nawa Sanga.

* Meru beratap 7 adalah lambang 4 huruf (sa, ba, ta, a) + 3 huruf di tengah (i, Omkara, ya). Ini lambang Sapta Dewata/Rsi.

* Meru beratap 5 adalah simbolis dari 5 huruf (sa, ba, ta, a) + satu huruf Omkara di tengah. Ini lambang Panca Dewata.

* Meru beratap 3 adalah simbolis dari 3 huruf di tengah (i, Omkara, ya), merupakan lambang Tri Purusa yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa.

* Meru beratap 2 adalah simbolis dari dua huruf di tengah (i, ya) adalah lambang dari Purusa dan Pradhana (Ibu-Bapak).

* Meru beratap satu adalah simbolis dari penunggalan ke-10 huruf suci itu yaitu "Om" atau Omkara sebagai perlambang Sang Hyang Tunggal (Sanghyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa).

Bentuk dan Ornamen Meru

Meru secara tata letak berada pada tempat pemujaan di halaman utama (jeroan) dari suatu pura. Dari segi orientasi, meru umumnya menghadap ke barat sebagai tempat pemujaan utama berderet pada sisi timur dari utara ke selatan (kaja-kelod) dengan bangunan-bangunan padma, gedong, dan pemujaan suci lainnya sehingga arah pemujaan menghadap ke timur ke arah matahari terbit. Namun di beberapa pura di Bali, terkait dengan kondisi alam dan filosofis khusus dari pura bersangkutan, ada meru yang menghadap ke selatan seperti Pura Kehen, Bangli, dan menghadap timur laut seperti Pura Uluwatu, Badung, sehingga arah pemujaannya menghadap ke ke utara (Pura Kehen) dan dan barat daya (Pura Uluwatu).

Dari segi bentuk, meru seperti bangunan suci lainnya dibedakan atas bagian kepala (atap), badan (ruang pemujaan atau tempat meletakkan pratima), dan kaki (bebaturan) atau yang dikenal dengan konsep Tri Angga. Walaupun meru dapat dibagi atas tiga bagian (kaki, badan, dan kepala), namun secara proporsi dan penyelesaiannya sangat berbeda. Dalam penyelesaian proporsi bebaturan, tampak badan (ruang pemujaan), penyelesaian tumpang atap meru dan penggunaan ornamen serta bahannya pun sangat bervariasi sesuai dengan kondisi masing-masing daerah di Bali.

Ini berdasarkan pengamatan pada meru yang ada di kompleks Pura Besakih, Pura Batur, Pura Taman Ayun, Pura Kehen, Pura Danau Beratan, dll. Sedangkan dari segi dimensi, denah meru berbentuk segiempat dengan ukuran dasar bervariasi, 5m x 5m, 3m x 3m, sampai 7m x 7m dan tingginya pun bervariasi sampai mencapai 10m, bahkan lebih tergantung jumlah tumpang atapnya.

Bagian badan ditutup dengan menggunakan bahan kayu atau pasangan batu bata, batu kali, paras atau batu karang (sesuai kondisi lokasi) dan di dalamnya terdapat pepaga (altar) atau bale-bale yang berfungsi sebagai tempat menaruh pratima berupa lingga, arca, patung dewa-dewi sebagai simbol sinar manifestasi kekuatan Hyang Widi Wasa dan sesajen pada saat upacara berlangsung serta dilengkapi dengan pintu masuk untuk manusia yang melakukan persembahyangan di dalam ruangan atau badan meru. Karakter pada ruang pemujaan ini memiliki sifat vertikalisme yang tinggi, sehingga seakan-akan orang ditarik ke atas. Hal ini disebabkan oleh pengaruh bentuk ruang di dalamnya yang menerus dari bawah ke atas, sehingga terjadi tarikan udara ke atas yang dihembuskan menerebos melalui celah-celah antar tumpang atap meru.

Dari segi bentuk bebaturan (kaki), meru dibedakan atas meru dengan bebaturan tinggi dan pendek. Dari segi stabilitas massa, maka bentuk meru dengan batur pendek akan lebih stabil dibandingkan batur tinggi. Kestabilan ini erat kaitannya dengan titik berat massa bangunan. Umumnya, meru dengan batur pendek banyak dijumpai pada pura-pura di pegunungan. Di samping lebih stabil, juga karena hiasan ornamen atau ragam hias pada bebaturan-nya akan lebih sedikit atau lebih ekonomis. Namun secara umum, bentuk dan dimensi dari meru didasarkan kepada aturan Hasta Kosala Kosali sehingga menghasilkan keharmonisan antara ketepatan proporsi, kekuatan konstruksi dan keindahan ragam hias.

Ornamen pada meru hampir serupa dengan bangunan suci pura lainnya yang sarat dengan kekarangan dan pepatraan yang menunjukkan keharmonisan manusia dengan alamnya yaitu melambangkan flora dan fauna. Pada ujung atap limas meru yang digolongkan ke bagian kepala, umumnya ditemukan ornamen yang disebut murdha seperti murdha bantala pada meru di Pura Besakih. Pada bagian badan meru, terutama pada bagian atas pintu gedong, biasanya terdapat ornamen karang sae. Daun pintunya biasanya memakai ukiran bermotif patra olanda. Selanjutnya pada sendi atau tatakan saka (kolom) memakai patung singa seperti yang terdapat di meru Pura Besakih, atau ada juga yang memakai sendi biasa seperti yang terdapat pada meru di Pura Batur.

Ornamen yang terdapat pada bagian bebaturan berupa pepalihan, karang asti atau karang gajah pada setiap sudut, karang tapel pada bagian tengah di keempat sisi pada bagian paling dasar di atas tepas hujan. Kemudian pada bagian atasnya terdapat karang goak di keempat sudut dan karang bunga dan simbar gantung pada bagian tengah.
Ornamen berupa patung naga dan bedawang nala (kura-kura) biasanya dapat dilihat pada bagian dasar kaki dan tangga meru. Naga dan kura-kura sebagai perlambang kemakmuran. Juga dilengkapi patung-patung lain sesuai dengan kondisi masing-masing pura seperti arca dewa, arca manusia, dan lain-lain

0 komentar: